Gym Lovers

Jadilah Guru yang “Digugu lan Ditiru”

SEORANG guru itu memiliki peran yang penting, tidak hanya Slot Qris 5 Ribu sebagai pendidik, tapi juga sebagai pembentuk karakter moral siswa. Guru haruslah menjadi contoh pribadi yang mengajarkan dan menanamkan nilai-nilai integritas seperti jujur, tanggung jawab, disiplin, dan lain-lain.

Integritas itu, secara sederhana, dimaknai bahwa antara hati, pikiran, dan apa yang kita kerjakan adalah sejalan. Makanya, dalam ungkapan bahasa Jawa, seorang guru itu: digugu lan ditiru—dipercaya dan diteladani.

Dalam membangun integritas siswa, hal pertama yang dilakukan ialah mulai dari diri kita sebagai guru. Kita harus berintegritas dulu, menjadi digugu lan ditiru yang saya sebut tadi. Karena, anak-anak akan melihat bagaimana guru itu berperilaku selama di sekolah.

Dan, tentunya, kerja sama dengan orangtua dan masyarakat sekitar juga penting. Bagaimana pun orangtua sebagai pendidik pertama bagi anak-anak. Jadi, perlu ada kerja sama. Orangtua harus sama-sama memahami pentingnya nilai integritas, biar kita berhasil menjadikan anak-anak kita menjadi pribadi berintegritas..

Proses menuju pribadi yang berintegritas itu, tak bisa berjalan instan, kita harus pelan-pelan memberikan pendidikan; setidaknya kita kenalkan sembilan nilai antikorupsi—jujur, mandiri, tanggung jawab, berani, sederhana, peduli, disiplin, adil, dan kerja keras (Jumat Bersepeda KK)—kepada anak-anak. Saya juga menanamkan hal itu kepada anak saya.

Kejujuran adalah hal utama yang saya minta. Saya tidak ingin anak saya dapat nilai bagus, tapi melalui perilaku yang tidak jujur. “Silakan kalian belajar apa yang sudah ibu berikan, silakan kalian pelajari, kalau nantinya nilai kalian jelek, tapi kamu jujur, saya akan menilai dengan kejujuran kamu itu.” Begitu yang saya tekankan kepada anak-anak saya.

Di sisi lain, anak-anak juga harus memunyai rasa tanggung jawab kepada apa yang telah dia lakukan. Integritas adalah landasan anak-anak didik kita untuk masa depan.

Dilema integritas guru

Guru juga tak lepas dari dilema integritas, salah satunya terkait dengan penerimaan gratifikasi. Gratifikasi jelas-jelas tidak boleh. Tapi, jujur, sebagai guru, kita memang dilematis ketika dihadapkan dengan pemberian hadiah ini. Keputusan saya menolak hadiah justru mendapat cibiran dari beberapa teman. Karena saya satu-satunya yang tidak menerimanya hadiah saat peringatan Hari Guru. Tapi, itu sudah menjadi pengalaman saya. Dan, tahun-tahun sebelumnya, saya juga memang tidak mau menerima apa pun.

Prinsip tidak menerima gratifikasi perlu kita sampaikan kepada anak-anak dengan perlahan-lahan, termasuk kepada orangtua siswa. Saya yang tinggal di daerah pedesaan, kebanyakan pendidikan orangtua siswa hanya sampai kelas 5 atau 6 SD, bahkan ada yang tidak lulus SMP. Ketika memberikan hadiah itu, mereka bilang ikhlas, mereka sampai bilang: “Saya lillahi ta’ala memberikan ini untuk Ibu sebagai rasa terima kasih saya karena sudah mendidik anak saya selama satu tahun.” Bahkan ada yang bilang, “Ini untuk dua tahun.”

Escribe un Comentario

Regístrate

He leído y acepto la Política de Privacidad.
Suscribirme al Newsletter

¿Ya tienes una cuenta?